Dinda's Blog

HAVE FUN AND ENJOY WITH THIS BLOG ;)

Powered By Blogger
Rabu, 16 Maret 2011

Teka-Teki si Fulan

Diposting oleh Dinda Fitri Fatimah |

“Sudah satu minggu itu, murid-murid kelas III F terlihat santai. Yah, karena mereka tinggal menunggu pengumuman hasil tes seleksi masuk SMA yang mereka minati,” Ibu memulai cerita masa kecilnya. Aku mendengar dengan tekun. “Kalau sekarang, yang dilihat NEM-nya, Bu!” ucapku. “Ya, walau aturan pemerintah berubah, yang penting kamu harus…” “Rajin belajar dan tidak lupa berdoa,” suaraku lantang melengkapi kalimat Ibu yang sengaja diputus. Ayah menurunkan surat kabar yang dibacanya, lalu menatapku tajam. Dipandang begitu aku malah cekikikan. Aku tau Ayah tidak sungguh-sungguh marah. Ibu lalu melanjutkan ceritanya,
“Anak-anak ini sibuk tukar-menukar pas foto hitam putih berukuran 2x3 atau 3x4. Ada juga yang menyediakan buku khusus untuk menulis biodata teman-teman sekelas. Tapi sayang jumlah halaman buku itu kurang banyak,” ungkap Ibu dengan nada sedih. Aku tidak ingin melihat muka Ibu tampak sedih begitu. Maka cepat-cepat aku mengajukan pertanyaan, “Kenapa tukar-menukarnya dengan pas foto hitam putih ukuran 2x3 atau 3x4, Bu?”. Ibu terdiam sejenak, “Begini, seluruh murid kelas tiga harus menyerahkan beberapa lembar pas foto hitam putih dengan ukuran tadi ke wali kelas. Satu untuk ditempel di ijazah, sisanya untuk keperluan administrasi sekolah, dan bisa juga untuk…” “Pertanyaan Nuni sudah terjawab!” seru Ayah dari balik surat kabar. Aku memberengut. Habis, Ayah mendahului kesenanganku menyelesaikan kalimat Ibu yang sengaja diputus. Ayah merendahkan surat kabar yang tengah dibacanya dan memandang ke arahku dengan senyum penuh kemenangan. “Satu-satu!” ujar Ayah lagi. Ibu tersenyum menyaksikannya, kemudian melanjutkan ceritanya, “Beberapa bulan setelah Ibu duduk di bangku kelas satu SMA pilihan Ibu, Ibu mendapat kiriman kartu Lebaran dari salah seorang teman sekelas ketika di SMP dulu. Sebut saja namanya Si Fulan”. “Anak laki-laki ya, Bu?” teriakku. Ibu mengiyakan. “Walau tidak ada nama dan alamat pengirim, Ibu tau kalau itu tulisan tangan si Fulan. Yang mengherankan adalah dari mana atau dari siapa dia mendapatkan alamat rumah Ibu?”. Aku menghela nafas panjang, “Yang pasti dari salah seorang teman Ibu yang juga teman si Fulan!” seruku mantap, “Ibu yakin tidak pernah memberikan alamat rumah Ibu pada si Fulan?”. Ibu mengangguk, “Demikian pula sebaliknya”. “Terus, Bu!” pintaku setengah memaksa. Aku semakin hanyut mengikuti cerita Ibu.
“Saat itu Ibu mencoba mengingat pernah memberikan alamat rumah pada siapa saja. Ah, sekarang Ibu baru ingat! Rupanya Fulan mendapatkan dari Sari. Ibu dan Sari sempat bertukar alamat rumah. Sari adalah teman dekat Fulan. Kami bertiga satu kelas sewaktu SMP dulu.”
Bola mataku membulat. Aku benar-benar penasaran dengan akhir cerita Ibu kali ini. Ayah dan Ibu memang punya segudang cerita menarik. Maklum, keduanya penggemar cerita Trio Detektif yang ditulis oleh Alfred Hitchcock. “Dengan bersepeda Ibu mendatangi rumah Sari. Ibu terangkan duduk persoalan yang sedang Ibu hadapi. Sari pun membenarkan kalau Fulan pernah meminta alamat rumah Ibu pada Sari. Kemudian…”. “Ibu meminta alamat rumah Fulan pada Sari?” tanyaku memastikan. Ibu mengangguk senang. “Ibu membalas kartu Lebaran Fulan?” tanyaku ragu-ragu, “Apa alasan Ibu?”. “Persahabatan tidak harus terhentu hanya karena lain sekolah atau pindah rumah, bukan?” jawab Ibu seraya menarik hidungku dengan gemas. Nah ya, Ibu mulai menyukai si Fulan! Teriak batinku. Tapi tiba-tiba hatiku kecut, aku takut sebentar lagi akan terjadi perang hebat antara Ibu dan Ayah gara-gara si Fulan! Aku takut sekali dua orang yang aku cintai ini akan berpisah untuk selama-lamanya.
Melihat air mukaku yang mendadak berubah itu, Ibu segera berkata, “Kok Nuni tidak Tanya siapa si Fulan itu?”. Dengan takut-takut, aku mengangkat wajahku dan bertanya, “Siapa si Fulan yang Ibu maksud itu?”. “Nah begitu dooong” Ibu tersenyum lebar. Matanya melirik ke arah Ayah yang sedari tadi asyik menikmati koran paginya. Oo, ternyata si Fulan itu Ayah. Ah, lega rasanya… itulah jawaban yang sebenarnya aku inginkan! Jadi tidak mungkin terjadi perang di anatar kedua orangtuaku. Syukurlah!
Kulihat Ayah melipat surat kabar yang sudah selesai dibacanya. Ia tersenyum ke arahku dan Ibu bergantian. Aku cuma geleng-geleng kepala. Aih, Ayah, kok dulu tega membuat Ibu bingung.

0 komentar:

Subscribe